Assalaamu'alaikum
Hukum Shalawat atas Nabi saw
Hukum membaca shalawat atas nabi menurut para ulama ada sepuluh pendapat, yaitu :
- Ibnu Jarir ath Thobari berpendapat bahwa shalawat adalah mustahabbat
(sunnah) dan beliau menganggap bahwa hal ini adalah ijma para ulama.
- Ibnu al Qishor dan ulama lainnya berpendapat sebaliknya bahwa ijma’
ulama mewajibkan secara umum tanpa pembatasan, akan tetapi minimal
diperbolehkan adalah satu kali.
- Abu Bakar ar Rozi dari kalangan ulama madzhab Hanafi, ibnu Hazm dan
yang lainnya berpendapat diwajibkan disetiap shalat atau yang lainnya
sebagaimana kalimat tauhid. Al Qurthubi, seorang mufassir, berpendapat
bahwa tidak ada perselisihan akan wajibnya sekali seumur hidup dan ia
juga diwajibkan disetiap sunah muakkadah, pendapat ini telah diungkapkan
sebelumnya oleh Ibnu Athiyah.
- Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa shalawat
diwajibkan saat duduk diakhir shalat antara bacaan tasyahud dan salam.
- Pendapat Syafi’i dan Ishaq bin Rohwaih adalah diwajibkannya pada saat tasyahud.
- Abu Ja’far al Baqir berpendapat bahwa shalawat diwajibkan didalam sholat tanpa ada pengkhususan.
- Abu Bakar bin Bukair dari kalangan madhzab Maliki berpendapat wajib memperbanyaknya tanpa ada pembatasan dengan jumlah tertentu.
- At Thohawi dan para ulama dari madzhab Hanafi, al Halimi dan
sekelompok ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa shalawat itu
diwajibkan ketika disebutkan nama Nabi saw. Ibnul Arobi dari kalangan
madzhab Maliki berpendapat bahwa ini adalah suatu kehati-hatian,
demikian pula dikatakan az Zamakhsyari.
- Az Zamakhsyari berpendapat bahwa shalawat diwajibkan sekali disetiap majlis walaupun penyebutannya terjadi berulang-ulang.
- Beliau juga berpendapat bahwa shalawat wajib disetiap doa.(Fathul Bari juz XI hal 170 – 171)
Jadi tidak ada perselisihan dikalangan para ulama akan
disyariatkannya membaca shalawat atas Nabi saw, firman Allah
swt,”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab : 56)
Shalawat dari Allah adalah rahmat, sedang dari para malaikat adalah
istighfar dan dari orang-orang beriman adalah doa. Jadi kaum mukminin
diminta untuk mendoakan Nabi saw agar senantiasa bertambah keagungan dan
kemuliannya saw.
Banyak pahala yang Allah sediakan bagi orang-orang yang senantiasa
bershalawat atas Nabi saw sebagaimana sabdanya saw,”Siapa yang
bershalawat atasku satu kali shalawat maka Allah akan bershalawat
atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim). “Manusia yang paling utama pada
hari kiamat adalah oang yang paling banyak bershalawat.” (HR. Tirmidzi).
“Orang yang bakhil adalah orang yang disebutkan namaku dihadapannya
namun dia tidak bershalawat atasku.” (HR. Tirmidzi, dia
mengatakan,’Hasan Shohih’)
Shalawat Badar
Shalawat Badar yang sangat masyhur dikalangan kaum muslimin di
Indonesia bahkan hingga negeri-negeri tetangga berisi tentang tawassul
dengan nama Allah swt, Nabi dan para mujahidin ahli badar.
Untuk mengingatkan kita tentang shalawat ini, berikut penggalan beberapa baitnya :
Sholatullaoh Salaamulloh ‘ala Thoha Rosulillah
Sholatullaoh Salaamulloh ‘ala Yaasiin Habiibillah
Tawassalnaa bi bismillah wabil Haadi Rosulillah
Wa kulli mujahidin lillah bi ahlil badri yaa Allah.
Artinya :
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Thaha utusan Allah
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Yasin utusan Allah
Kami berwasilah dengan berkah ‘bismillah’. Dan dengan Nabi yang memberikan petunjuk lagi utusan Allah
Dan juga seluruh mujahidin di jalan Allah dan juga dengan para sehabat ahli badar yaa Allah.
Tawassul adalah mengambil sesuatu untuk dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah swt.
Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah :
35)
Didalam Shalawat Badar paling tidak mencakup tiga macam tawassul :
- Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah.
Para ulama bersepakat boleh bertawassul dengan Nama dan Sifat Allah swt
sebagaimana sebuah doa saat meruqyah orang sakit,”Ya Robb kami yang ada
di langit, sungguh suci nama-Mu, urusan-Mu di langit dan bumi.
Sebagaimana rahmat-Mu di langit jadikanlah rahmat di bumi. Ampunilah
kami atas penyakit dan kesalahan kami. Engkau Robb orang-orang yang
baik. Turunkanlah satu rahmat dari rahmat-rahmat-Mu. Kesembuhan dari
kesembuhan-Mu dari penyakit ini, maka orang itu pun sembuh.” (Hadits
Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya).
Didalam hadits ini terdapat tawassul kepada Allah azza wa jalla dengan
memuji-Nya melalui Rububiyah dan Ilahiyah-Nya serta pensucian nama dan
keagungan-Nya diatas makhluk-Nya juga perkara-Nya baik yang syar’i
maupun qodari. (Syarhul Aqidah al Wasithiyah juz I hal 226, Maktabah
Syamilah)
- Tawassul dengan Nabi saw dan orang-orang sholeh termasuk para mujahidin ahli Badar.
Syrikh DR. Yusuf al Qaradhawi tentang permasalahan tawassul mengatakan
bahwa permasalahan tawassul dengan Rasul saw, para nabi malaikat dan
orang-orang sholeh dari hamba-hamba Allah adalah perkara-perkara yang
diperselisihkan para ulama. Perselisihan terjadi dalam teknis berdoa dan
hal ini tidaklah masuk didalam permasalahan aqidah.
Dan barangsiapa yang membaca buku-buku dari berbagai madzhab baik
Hanafi, Maliki, Syafi’i bahkan Hambali maka ia akan mendapatkan dengan
jelas bahwa banyak dari ulama yang membolehkan tawassul dengan Rasul
saw, orang-orang shaleh dari hamba-hamba Allah. Diantara mereka ada yang
memakruhkan dan ada juga yang melarangnya.
Dan setiap kelompok dari mereka memiliki berbagai dalil atau
syubuhatnya—minimal—dalam mendukung pendapat mereka. Dan orang-orang
yang tidak sependapat kemudian melakukan penentangan terhadap mereka
sebagaimana umumnya terjadi di berbagai permasalahan khilafiyah.
Terdapat satu dalil yang kuat bagi mereka yang mengatakan tawassul,
yaitu hadits Utsman bin Hunaif yang telah dishohihkan oleh Syeikh al
Albani, hadits ini mengingkari tawassul.
Bunyi hadits tersebut adalah diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya
dengan sanad yang shohih dari
Utsman bin Hunaif bahwasanya telah datang
seorang laki-laki buta kepada Nabi saw dan berkata,”Berdoalah kepada
Allah agar Dia menyembuhkanku.’ Beliau saw bersabda,’Jika engkau mau,
maka aku akan berdoa untukmu dan jika engkau mau aku akhirkan doa itu
maka itu baik untukmu—didalam sebuah riwayat disebutkan : dan jika kamu
bersabar maka itu baik untukmu—orang itu berkata, ’Berdoalah kepada-Nya.
Rasul pun menyuruhnya berwudhu maka dia pun memperbaiki wudhunya,
melaksanakan sholat dua raka’at dan berdoa dengan doa ini,’Ya Allah
sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, aku menghadapkan kepada-Mu dengan
(perantara) Nabi-Mu Muhammad Nabi yang penyanyang, Wahai
Muhammad
sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku dengan (perantara) engkau
kepada Tuhan-ku terhadap kebutuhanku maka penuhilah kebutuhanku, Ya
Allah terimalah syafa’atnya untukku. Dia berkata,’orang itu pun
melakukannya.’ Kemudian dia pun sembuh.”
Dikarenakan tema tawassul ini adalah permasalahan fiqih bukan aqidah
maka aku (Yusuf al Qaradhawi) akan berbicara tentangnya dari buku-buku
fiqih dari berbagai madzhab fiqih terhadap perbedaan hukum-hukumnya lalu
masuk ke lingkup eksiklopedi fiqih dikarenakan hal ini juga masuk
didalam peramasalahan-permasalahan furu’ amaliyah yang merupakan lingkup
riset fiqih.
Banyak pula orang-orang yang tidak terikat dengan madzhabnya dengan
mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan, diantara mereka Imam asy
Syaukani—seorang ulama salaf—didalam kitabnya “Tuhfatudz
Zakirin” syarh
“al Hishnul Hashin” . Ada juga selainnya dari kalangan para ulama
terdahulu dan belakangan, diantaranya ada yang membolehkan tawassul
dengan Nabi saja dan tidak memperbolehkan tawassul dengan selainnya dari
para Nabi, orang-orang shaleh sebagaimana pendapat Imam Izzuddin bin
Abdussalam.
Aku sendiri (Yusuf al Qaradhawi) cenderung kepada pendapat yang
mendukung tidak diperbolehkannya tawassul dengan diri Nabi saw dan
orang-orang shaleh. Aku membangun pendapatku diatas pendapat Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah tentang hal ini didalam beberapa perkara berikut :
- Bahwa dalil-dalil yang melarang—yaitu melarang tawassul dengan diri
Nabi dan diri orang-orang shaleh—lebih kuat dalam timbangan ilmiyah.
Khususnya bahwa pintu Allah swt terbuka bagi setiap makhluk-Nya, tidak
ada penghalang dan penjaganya sebagaimana pintu para raja dan penguasa
bahkan Allah membukakan pintu-pintu rahmat-Nya bagi orang-orang yang
berbuat maksiat dan menisbahkan mereka kepada dzat-Nya, firman-Nya
swt,”Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)
- Bahwasanya pembolehan tawassul membuka jalan untuk berdoa kepada
selain Allah swt dan meminta pertolongan kepadanya. Banyak orang telah
mencampur-adukan antara dua perkara itu, maka menutup jalan bagi
orang-orang awam lebih diutamakan.
- Bahwasanya manhaj yang aku ambil dan pakai didalam pengajaran,
da’wah dan fatwa yaitu apabila kita bisa menyembah Allah swt dengan
perkara yang disepakati atasnya maka tidak ada celah untuk kita masuk
kedalam perkara-perkara yang diperselisihkan. Berdasarkan hal ini maka
aku tidak mendahulukan beribadah dengan shalat tasbih dikarenakan adanya
shalat-shalat lainnya yang disepakati atasnya yang mutawatir dari
Rasulullah saw tentang beribadah dengannya.
Akan tetapi aku tidak mengatakan berdosa kepada orang yang
mengerjakannya dan orang yang berijtihad dengan membolehkan tawassul
atau membolehkan beribadah dengan shalat tasbih dan yang sejenisnya. Aku
tidak mengingkari hal itu kecuali dari aspek arahan kepada yang paling
kuat dan utama karena tidak ada pengingkaran didalam
permasalahan-permasalahan khilafiyah sebagaimana telah diketahui. Dan
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah, walaupun beliau mengingkari tawassul
dengan diri namun dia tidak keras dalam pengingkarannya hingga sampai
mengkafirkan atau menyatakannya berdosa sebagaimana dilakukan sebagian
orang yang menganggap mereka berafiliasi dengan madzhabnya. Beliau
mengatakan didalam “Fatawanya” setelah menyebutkan perbedaan tentang
masalah ini : “tidak seorang pun yang mengatakan,’Sesungguhnya siapa
yang mengatakan dengan pendapat pertama telah kufu. Tidak ada dasar
untuk mengkafirkannya.
Sesungguhnya permasalahan ini masih misteri, tidak ada dalil-dalil
yang jelas dan nyata. Sesungguhnya kekufuran terjadi karena mengingkari
perkara-perkara yang diketahui prinsip didalam agama atau hukum-hukum
yang mutawatir dan disepakati atau yang seperti itu…
Bahkan orang yang mengkafirkan seperti dalam permasalahan ini berhak
mendapatkan sangsi dan peringatan keras sepertihalnya orang-orang yang
mendustakan agama, terlebih lagi Nabi saw mengatakan,”Apabila seseorang
mengatakan kepada saudaranya,’Wahai kafir maka (kekufuran itu) kembali
kepada salah seorang dari keduanya.” (Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam
1/106) dan hadits riwayat Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar ra.
Banyak orang yang mengatakan,”Sesungguhnya hadits diatas adalah dalil
dibolehkannya tawassul didalam berdoa dengan kehormatan Nabi saw atau
selainnya dari orang-orang shaleh karena didalam hadits itu Nabi saw
mengajarkan orang buta itu untuk bertawassul dengannya didalam doanya
yang kemudian dilakukan oleh orang buta itu sehingga kembalilah
penglihatannya.
Adapun Syeikh al Albani mengatakan,”Adapun kami melihat bahwa hadits
ini bukanlah dalil untuk mereka terhadap tawassul yang diperselisihkan
didalamnya, yaitu tawassul dengan diri, akan tetapi tawassul orang buta
ini hanya didalam doanya.” (www.islamonline.net)
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-